
NABIREKAB.GO.ID — Bupati Nabire, Mesak Magai, S.Sos., M.Si., mengambil sikap tegas terhadap maraknya peredaran dan penyalahgunaan minuman keras (miras) di wilayahnya. Ia menyatakan bahwa miras bukan sekadar ancaman hukum, tetapi juga bom waktu sosial yang bisa menghancurkan masa depan generasi muda Papua.
Dalam upaya menekan angka penyalahgunaan miras, terutama di kalangan anak-anak dan remaja, Pemkab Nabire memberlakukan sanksi sosial bagi para pemabuk jalanan, termasuk remaja yang tertangkap dalam kondisi mabuk.
“Anak-anak yang tertangkap mabuk akan ditahan semalam di ruang khusus. Keesokan harinya mereka akan dikenai hukuman sosial, seperti membersihkan fasilitas umum, sebelum dipulangkan ke orang tua mereka. Ini adalah bagian dari pembinaan agar mereka jera dan tidak mengulangi,” tegas Bupati Mesak Magai.
Tiga Jalur Peredaran Miras: Legal, Ilegal, dan Produksi Lokal
Bupati Mesak memetakan peredaran miras di Nabire yang berasal dari tiga jalur utama, dengan tantangan berbeda-beda. Pertama, jalur resmi melalui distributor yang masih berada dalam pengawasan pemerintah daerah. Jalur ini dinilai relatif mudah dikendalikan karena tunduk pada regulasi.
Namun, dua jalur lainnya dianggap sebagai ancaman utama. Minuman keras ilegal yang masuk tanpa izin, serta miras lokal hasil produksi masyarakat seperti Cap Tikus (CT) dan bobo, menyumbang masalah serius.
“Kalau distributor resmi bisa kita kontrol. Tapi miras ilegal dan produksi lokal ini yang sulit. Produksinya tersembunyi, bahan bakunya mudah didapat, dan sering menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat,” ujar Mesak.
Bahaya Sosial: Miras Jadi Pintu Masuk Kerusakan Moral Anak Muda
Bupati Mesak Magai tak menutup mata terhadap dampak sosial yang ditimbulkan miras, terutama bagi remaja. Menurutnya, miras telah menjadi pintu masuk berbagai tindakan kriminal dan dekadensi moral di tengah masyarakat.
“Anak-anak yang mabuk di jalan bukan hanya membahayakan diri mereka, tapi juga orang lain. Banyak kasus perkelahian, pencurian, hingga pelecehan seksual terjadi karena pengaruh miras. Ini bukan hal sepele,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan tentang pengalaman masa lalu ketika Pemkab Nabire melarang total peredaran miras melalui Perda No. 6 Tahun 2006. Larangan itu justru memunculkan efek samping yang tak kalah berbahaya.
“Waktu itu, miras dilarang total. Tapi masyarakat malah beralih ke bahan berbahaya seperti alkohol apotek, bensin, dan lem Aibon. Bahkan anak-anak mulai mencuri motor hanya untuk beli bahan itu. Ini pelajaran penting bagi kita semua,” kenangnya.
Harga Miras Oplosan Murah, Dampaknya Mahal
Minuman oplosan seperti CT dan bobo menjadi pilihan utama karena harganya yang sangat murah. CT dijual sekitar Rp20.000 per botol, sementara bobo bisa dibeli seharga Rp10.000 per liter. Harga ini membuat miras oplosan sangat mudah diakses, terutama oleh kalangan remaja dan masyarakat ekonomi lemah.
“Justru karena murah dan mudah dibuat, CT dan bobo sangat berbahaya. Kualitasnya tidak terukur dan bisa menyebabkan kerusakan organ, bahkan kematian,” jelas Mesak.
Langkah Nyata: Ruang Tahanan Anak dan Sanksi Sosial
Sebagai bentuk tindakan nyata, Pemkab Nabire bekerja sama dengan Polres Nabire telah membangun ruang tahanan khusus anak-anak yang terlibat penyalahgunaan miras. Di samping itu, sanksi sosial terus diperluas untuk menciptakan efek jera, namun tetap dalam kerangka pembinaan.
Bupati Mesak Magai menekankan bahwa penanganan miras bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi menyangkut masa depan sosial dan moral daerah.
“Kami ingin semua pihak terlibat—tokoh adat, gereja, sekolah, dan keluarga—dalam memberantas miras. Kalau kita biarkan, kita sedang menggiring anak-anak kita menuju kehancuran. Ini soal menyelamatkan masa depan Nabire,” pungkasnya. ***
4,459 orang membaca tulisan ini