Tanggal 30 Juni 2022, DPR RI mengesahkan RUU Provinsi Papua Tengah menjadi UU No. 15 Tahun 2022 Tentang Provinsi Papua Tengah. Provinsi Papua Tengah mencakup Kabupaten Nabire, Puncak Jaya, Paniai, Mimika, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deiyai. UU ini lahir melalui dinamika panjang dan luar biasa, tarik menarik kepentingan pejabat daerah dan Jakarta, pro dan kontra di tengah masyarakat di Papua, bahkan terjadi kerugian materil dan nyawa.
Menjelang pengesahan UU No. 15 Tahun 2022 ini, Bupati Mimika, Eltinus Omaleng dan Bupati Nabire, Mesak Magai, S.Sos., M.Si masing-masing mempertahankan pendapat dan melakukan komunikasi politik kepada DPR RI dan pemerintah pusat agar ibu kota provinsi baru ini ditempatkan di wilayahnya. Melalui strategi komunikasi terbuka dan senyap, Bupati Nabire Mesak Magai berhasil merealisasikan Nabire menjadi ibu kota Provinsi Papua Tengah.
Setelah UU No. 15 Tahun 2022 disahkan, Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo telah mengunjungi Nabire dan dijemput oleh Bupati Mesak sebagai tuan rumah bersama para Bupati Meepago. Menyusul kunjungan Wamen, Pokja Mendagri juga telah memastikan fasilitas dan kesiapan pelantikan Pelaksana Tugas Gubernur dan birokrasinya.
Tim media ini telah melakukan wawancara dengan Bupati Nabire, Mesak Magai, S.Sos., M.Si terkait pandangannya tentang harapan dan tantangan pembangunan Provinsi Papua Tengah di masa depan.
Berikut rangkuman wawancaranya!
Proses Provinsi Papua Tengah
Tahun 1999, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Pertimbangan utama pemekaran ini adalah kondisi sosial politik di Papua yang meningkat pasca reformasi walaupun aspirasi pemekaran telah disampaikan jauh sebelum itu dari sejumlah pihak di Papua.
Pada 12 Oktober 1999, mantan Pembantu Gubernur Wilayah II Herman Monim dilantik sebagai Penjabat Gubernur Irian Jaya Tengah. Namun pembentukan provinsi ditentang oleh sekelompok besar orang Papua dan oleh Freddy Numberi, Gubernur Irian Jaya. Kerusuhan meningkat menjadi perang saudara lima hari antara pendukung dan penentang provinsi, menyebabkan lima orang tewas. Perang berakhir setelah pemerintah mengumumkan pembubaran provinsi dan secara efektif menggulingkan Monim.
Konstelasi politik di Papua meningkat. Sebagai win-win solution, diberlakukan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 76 tentang Pemekaran Wilayah berbunyi: “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”
Usulan dan desakan pengaktifan Provinsi Papua Tengah terus disuarakan oleh berbagai pihak di Papua, bahkan beberapa kali disuarakan DPR RI. Namun, selama itu, Gubernur Papua, Lukas Enembe mengatakan mayoritas rakyat Papua menolak pemekaran provinsi. Penolakan juga disampaikan Majelis Rakyat Papua.
Pada tahun 2021, pemerintah pusat mengambil alih revisi UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Sebanyak 19 Pasal direvisi, termasuk Pasal 76 yang mengatur tentang kewenangan pembentukan DOB, full diambilalih ke pemerintah pusat.
Menyusul revisi tersebut, pada awal April 2022, Pemerintah menyiapkan tiga RUU daerah DOB di Papua dan sepakat bersama DPR RI untuk dibawa ke rapat DPR RI. RUU Tiga DOB Papua tersebut adalah RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Mesak Realisasikan Nabire Ibu Kota Papua Tengah
Saat Pemerintah dan DPR RI menyiapkan 3 RUU DOB tersebut, ibu kota Provinsi Papua Selatan dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah tidak menjadi masalah. Namun, Provinsi Papua Tengah terjadi tarik-menarik antara Mimika dan Nabire.
Berkenaan dengan ini, Bupati Mesak didampingi sejumlah Bupati Meepago menggelar konferensi pers di Suni Hotel and Convention Abepura, Kota Jayapura. Mereka menegaskan bahwa Nabire sebagai ibu kota Provinsi Papua Tengah, no kompromi.
Pada 18 Mei 2022, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengonfirmasi bahwa DPR RI telah menerima surat presiden untuk menindaklanjuti terkait pembahasan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua, yaitu Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Kepulauan Tengah.
Akhir Mei 2022, Bupati Mesak pimpin lima bupati Meepago dan melakukan pertemuan bersama Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri dan Komisi II DPR RI. Dalam pertemuan itu, Bupati Mesak Menegaskan bahwa ibu kota Provinsi Papua Tengah harus di Nabire.
Pada 21 Juni 2022, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pembentukan provinsi di Papua dalam keputusan tingkat I. Hari berikutnya, Komisi II DPR RI membahas tiga Rancangan Undang-undang (RUU) terkait pembentukan provinsi baru di Papua bersama pemerintah. Komisi II DPR mengundang delegasi masyarakat Papua yang diwakili Pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, dan Majelis MRP.
Pada 24 -26 Juni 2022, Pimpinan Komisi II DPR RI dan anggota Komisi II DPR RI, bersama pemerintah melaksanakan kunjungan kerja ke Provinsi Papua untuk menyerap aspirasi dan masukan terkait pembahasan RUU tentang pemekaran di Provinsi Papua, melakukan uji publik, dan menjaring masukan kembali.
Rapat Panja Komisi II DPR RI bersama berbagai pihat menggelar rapat dengar pendapat di Hotel Horison Kotaraja, Kota Jayapura. Pada rapat ini, dihadapan komisi II dan semua hadirin, Bupati Mesak Magai didampingi enam bupati Meepago memaparkan sejumlah alasan mengapa ibu kota Provinsi Papua tengah harus di Nabire.
“Sebetulnya dua provinsi yakni Papua Selatan dan Papua Pegunungan tidak ada masalah bagi penempatan ibu kota provinsi. Tapi, Papua Tengah sedikit ada tarik menarik penempatan antara Nabire dan Mimika. Pemerintah Provinsi Papua saat itu Provinsi Irian Jaya, ada 9 kabupaten sentral dan Nabire salah satunya,” kata Bupati Mesak.
Dijelaskan Bupati Mesak, “Papua Selatan kota sentralnya ada di Merauke untuk menjangkau beberapa kabupaten di wilayah Papua Selatan, begitu juga di Papua bahwa Kabupaten dan Kota Jayapura menjadi kota sentral menjangkau kabupaten yang terletak di wilayah itu. Begitu juga di Teluk Cenderawasih, dimana Kabupaten Biak Numfor menjadi kota sentral se kawasan kepulauan dan pesisir. Kami di Papua Tengah kota sentralnya ada di Nabire. Karena, Kabupaten Nabire merupakan kabupaten tertua sejak Provinsi Irian Jaya. Bahkan, Kabupaten Nabire memekarkan menjadi 7 kabupaten, bahkan sudah punya cucu. Kabupaten Nabire mekarkan ada beberapa kabupaten yakni Dogiyai, Paniai dan Puncak Jaya. Kabupaten Puncak Jaya mekarkan Kabupaten Puncak, sedangkan Paniai memekarkan Kabupaten Intan Jaya dan Deiyai. Kalau Mimika saya tidak bicara, karena pemekaran dari Fakfak.”
Mesak mengungkapkan jika melihat sisi penduduk mayoritas orang asli Papua lebih banyak di Nabire. “Maka dari itu, saya tidak datang sendiri ditemani oleh anak dan cucu saya, Kabupaten Dogiyai, Paniai, Intan Jaya dan Puncak Jaya untuk menentukan tempat yang istimewa, pada rapat yang istimewa ini bahwa Nabire merupakan ibu kota provinsi Papua Tengah. Dengan demikian, beberapa pernyataan sudah kami siapkan dalam proposal kami, yakni pernyataan untuk kesiapan kantor gubernur, persiapan pembebasan lahan dari dewan adat, dan lainnya.”
Selain itu, ujar Mesak, pihaknya menyiapkan kajian akademik dari Uncen untuk Kabupaten Nabire layak menjadi Ibu Kota Provinsi Papua Tengah.
Usai rapat dengar pendapat di Jayapura antara Komisi II DPR RI dan sejumlah pihak di Jayapura pada tanggal 25 Juni 2022, dua hari berikutnya, yakni tanggal 26 dan 27 Juni 2022, Bupati Mesak melakukan loby intensif kepada sejumlah pihak di Jakarta, baik anggota Komisi II DPR RI, jalur partai, maupun kepada pihak pemerintah pusat.
“DOB itu kebijakan pusat dengan pertimbangan pembangunan dan ketahanan Negara. Saya hanya ingin memastikan bahwa ibu kota dari DOB Papua Tengah ini harus di Nabire. Alasan-alasan yang saya sampaikan pada rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI di Jayapura pada tanggal 25 Juni 2022 itulah yang saya sampaikan dalam loby-loby saya dalam dua hari terakhir, menjelang penetapan ibu kota. Syukur, semua respon baik dan akhirnya memang benar-benar Nabire ditetapkan menjadi ibu kota Papua Tengah,” kata dia.
Pada 28 Juni 2022, Komisi II DPR dan Pemerintah dalam keputusan tingkat I menyepakati ibu kota 3 DOB di Provinsi Papua dan khusus ibu Provinsi Papua yang sebelumnya terjadi tarik-menarik antara Timika dan
Pada rapat itu, disepakati juga untuk tiga RRU DOB Papua untuk dibawa ke tingkat pengambilan keputusan II atau rapat paripurna yang digelar pada 30 Juni 2022. Pihak pemerintah yang menghadiri rapat tersebut adalah Wakil Menteri Dalam Negeri, John Wempi Wetipo, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward OS Hiariej, dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Pada keputusan tingkat I ini juga menyepakati, Pemerintah dan Komisi II DPR sepakat mengakomodasi OAP lebih dominan dalam formasi aparatur sipil negara (ASN) pada DOB Papua.
Pada 30 Juni 2022, DPR dalam Rapat Paripurna ke-26 DPR Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 mengesahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) daerah otonomi baru (DOB) Papua, yakni UU Nomor 14 Tahun 2022 Tentang Provinsi Papua Selatan mencakup kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat; UU Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Provinsi Papua Tengah mencakup kabupaten Nabire, Puncak Jaya, Paniai, Mimika, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deiyai; UU Nomor 16 Tahun 2022 Tentang Provinsi Papua Pegunungan mencakup kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Memberamo Tengah, Yalimo, Lanny Jaya, dan Nduga.
Pada 25 Juli 2022, Presiden Joko Widodo meneken UU Nomor 14 Tahun 2022 Tentang Provinsi Papua Selatan; UU Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Provinsi Papua Tengah; dan UU Nomor 16 Tahun 2022 Tentang Provinsi Papua Pegunungan.
Alasan Kelompok Pro DOB
Ada delapan alasan utama yang sering dikemukakan oleh kelompok pro DOB, antara lain adalah:
Pertama, aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih mudah tersalur.
Kedua, dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah agar terlepas dari ketergantungan terhadap pemerintah pusat.
Ketiga, menyediakan jangkauan dan kualitas pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang terbatas / terukur.
Keempat, mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah tengah Papua melalui perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal.
Kelima, penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan.
Keenam, semakin kuatnya kohesi sosial dan politik masyarakat dan memperkuat empat pilar bangsa, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Terjadi hubungan yang serasi antara pusat dan darah.
Ketujuh, perbaikan Sumber Daya Aparatur, Sumber Daya Masyarakat, Sumber Daya Organisasi Perangkat, Sarana dan Prasarana Dasar sehingga membawa efek pada perwujudan tata pemerintahan yang bersih dan baik (tidak dipenuhi dengan praktek KKN).
Alasan Kelompok Kontra DOB
Cypri Jehan Paju Dale (Associated Researcher, Université de Berne) merangkum enam alasan orang Papua menolak DOB.
Pertama, dominasi penduduk dari luar dan marginalisasi orang asli Papua. Sama seperti program transmigrasi pada masa lalu, pemekaran menjadi kendaraan bagi masuknya pendatang dan memperkuat dominasi masyarakat non-Papua yang sudah ada. Pemekaran akan mendatangkan penjaja barang dan jasa yang kemudian akan mengembangkan jaringan bisnis mereka dan menetap. Marginalisasi itu juga terjadi dalam ranah politik dan pemerintahan.
Kedua, beban birokrasi biaya tinggi dan korupsi. Untuk daerah otonomi baru, pengeluaran terbesar adalah pembangunan kantor, pengadaan fasilitas, biaya gaji dan operasional birokrasi. Padahal, kebutuhan prioritas saat ini adalah perbaikan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Ketiga, ekspansi korporasi dan perampasan tanah adat, hutan dan sumber daya lainnya. Pemekaran dikhawatirkan akan mempercepat laju ekspansi bisnis, yang berakibat pada penguasaan sumber daya oleh korporasi tanpa jaminan keadilan bagi orang asli Papua. Selama 20 tahun terakhir, pemerintah sudah menggelontor-kan setidaknya 240 izin tambang, 79 izin Hak Pengusahaan Hutan, dan 85 izin perkebunan sawit di seluruh Papua. Akibatnya, masyarakat adat Papua harus berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah daerah demi mempertahankan tanah dan sumber daya mereka.
Keempat, militerisme dan represi negara. Pembentukan daerah baru memfasilitasi pendirian pusat-pusat militer dan kepolisian baru, baik komando teritorial maupun pos-pos operasi khusus. Di banyak tempat di pedalaman, jumlah personel militer dan polisi jauh melampaui jumlah guru dan dokter.
Di wilayah seperti itu, militer dan polisi memainkan peran sentral dan multifungsi. Bahkan, seperti yang terjadi dalam pembangunan jalan trans-Papua, TNI juga menjadi pengelola proyek-proyek infrastruktur.
Kelima, perpecahan dan konflik antar kelompok di Papua. Pemekaran menciptakan konflik horizontal di antara sesama Papua. Selain itu, terjadi ketegangan antara organisasi pejuang kemerdekaan dengan para bupati dan elite politik pendukung pemekaran.
Keenam, orang Papua melihat pemekaran sebagai strategi penaklukan dan penguasaan. Yoman, pendeta dan penulis masalah sosial politik, melihat pemekaran sebagai bagian dari niat buruk Jakarta terhadap orang Melanesia. Yoman juga mempertanyakan mengapa pemekaran dipaksakan untuk Papua yang penduduknya hanya 4,3 juta jiwa, sementara Jawa Barat atau Jawa Timur yang jumlah penduduknya 46,4 juta dan 38,8 juta jiwa tidak dimekarkan? Pandangan seperti itu bukan monopoli orang Papua. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Agus Widjojo bahkan menggarisbawahi agar pemekaran Papua jangan seperti penjajahan.
Bupati Mesak: Aspirasi Pro-Kontra Jadi Harapan dan Tantangan Pembangunan Papua Tengah
Bupati Mesak mengatakan, “Pembentukan Provinsi Papua Tengah ini kebijakan pemerintah pusat dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Papua. Itu kajian intelejen negara, bahwa Papua ini tidak bisa satu sentral di satu kota, tapi harus dibagi beberapa sentral pengembangan. Itu semua patut disyukuri. Saya berjuang untuk memastikan ibu kota di Nabire dan syukur sudah sukses,” kata Bupati Mesak.
“Saya berjuang untuk ibu kota Provinsi Papua Tengah di Nabire itu karena Nabire itu kota sentral sehingga pelayanan dasar, kesehatan dan pendidikan di Nabire dan Meepago bisa lebih baik ke depan. Contohnya, seperti pelayanan RSUD Nabire yang sering dikeluhkan dan disoroti masyarakat, maka nantinya rumah sakit ini menjadi rumah sakit rujukan tingkat provinsi, dimana pelayanan akan lebih maksimal karena selama ini kita layani masyarakat dari sejumlah kabupaten Meepago,” kata Bupati Mesak.
Dengan adanya provinsi baru Papua Tengah ini, kata Bupati Mesak, tentu juga akan banyak membuka lapangan kerja di wilayah Papua Tengah, termasuk para investor pasti akan masuk. Jika masyarakat Papua menuntut adanya keberpihakan, maka ini kesempatan dengan adanya ibu kota di Nabire. “Pengusaha Papua juga harus bisa bersaing sehat, dipastikan lapangan kerja dan aktivitas perekonomian banyak terbuka,” kata dia.
“Prioritas pada orang asli Papua itu pasti dan harus utama, 80% karena dalam Sidang Paripurna DPR RI telah membahas hal itu. Nanti harus diatur dalam regulasi turunan agar terjadi keberpihakan pada orang asli Papua dalam pembangunan dan pengelolaan kekayaan alam di Papua Tengah. Juga, terjadi penyerapan tenaga kerja secara lebih luas dengan prioritas utama orang asli Papua di sektor pemerintah dan kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan,” kata dia.
“Pesan saya, bagi sarjana yang menganggur, mahasiswa dan pelajar agar tingkatkan kemampuan diri di bidangnya agar mampu bersaing. Saya juga pesan, bagi yang punya lokasi dan tanah, bisa berkebun, buka bengkel, jual-jual es, atau buat pencucian motor, jangan menjadi penonton, harus jadi tuan di tanah sendiri, dengan mengelola potensi yang ada di sini,” kata Bupati Mesak.
Bupati Mesak juga berharap agar terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal dan masyarakat lokal (orang asli Papua) di masa depan.
“Kita harapkan bersama bahwa pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan menghargai dan menghormati hak-hak adat masyarakat asli Papua dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Papua serta kemajuan dan kemandirian daerah,” kata Bupati Mesak Magai.
Bupati Mesak juga mengungkapkan bahwa dalam pembangunan Papua Tengah diharapkan terjadi perbaikan Sumber Daya Aparatur, Sumber Daya Masyarakat, Sumber Daya Organisasi Perangkat, Sarana dan Prasarana Dasar sehingga membawa efek pada perwujudan tata pemerintahan yang bersih dan baik sehingga terwujud tujuan pemekaran Provinsi Papua Tengah.
Dalam konteks ketahanan nasional, Bupati Mesak lebih melihat peluang untuk menciptakan kohesi sosial dan politik masyarakat dan memperkuat empat pilar bangsa, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI ketimbang mengedepankan pendekatan keamanan.
Plt. Sekretaris Daerah Kabupaten Nabire, Hermas Kayame, S.T., M.T. menambahkan, “Memang banyak yang tidak terima DOB Provinsi, khawatir banyak pedatang yang masuk, orang Papua susah, tapi pemerintah pusat sudah ada kebijakan untuk menghindari itu dengan tetap memberikan prioritas dan peluang bagi Orang Asli Papua.”
Menurut Sekda, dengan adanya DOB ini pemerintah pusat tetap mengutamkan putra daerah dalam perekrutasn ASN, dimana 80 persen orang asli Papua dan 20 persen sisanya untuk non OAP. Bahkan untuk 80 persen OAP ini, dari pemerintah pusat juga memberikan kebijakan untuk menaikkan usia CPNS maupun tenaga honorer yang bisa diangkat menjadi CPNS.
Artinya, ini memberi kesempatan atau peluang lebih besar bagi orang asli Papua. Seperti halnya, hasil rapat pemetaan ASN di daerah otonomi baru, antara pemerintah pusat dengan Komisi II DPR RI, dimana untuk penerimaan OAP untuk penerimaan CPNS dari yang maksimal umur 35 tahun dinaikkan menjadi 48 tahun untuk OAP, sementara untuk honorer menjadi 50 tahun bisa diangkat CPNS.
“Saya kira bagus, dalam upaya mencapai kuota 80 persen untuk anak-anak Papua bisa direkrut jadi CPNS,”ujarnya.
Namun sebenarnya, terkait dengan SDM asli Papua, saat ini banyak anak-anak Papua yang sekolah atau kuliah di Jawa maupun di luar negeri, masih banyak yang menganggur hingga saat ini. Mereka bisa diutamakan untuk bisa direkrut, apalagi bila selama ini mereka kuliah di luar Papua, atau luar negeri dengan bantuan beasiswa.
Menurut Sekda, dalam beberapa kali kesempatan ia juga menyatakan bahwa dalam managemen ASN bisa dikatakan berhasil bila saat Bimtek keuangan atau Bimtek lainnya itu, mayoritas yang ikut adalah orang Papua. Kalau masih banyak pendatang, berarti managemen ASN belum berhasil. [Tim Dinkominfo Nabire]
30,010 orang membaca tulisan ini