HIV/AIDS, secara nasional, Papua menduduki urutan kelima setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah pada tahun 2022. Tetapi, “Case Rate” tertinggi secara nasional adalah Papua. Di Papua, Kabupaten Nabire menduduki urutan pertama, yakni 9.037 kasus. Kolaborasi 90-90-90 mendesak untuk menekan HIV/AIDS!
Laporan khusus ini memuat tiga bagian, (1) HIV/AIDS Mengancam, Kolaborasi 90-90-90, (2) Berpengetahuan HIV/IADS, dan (3) Komitmen Bupati Mesak untuk Segera Kolaborasi Menekan HIV/AIDS. Berikut laporannya:
(1) HIV/AIDS MENGANCAM, KOLABORASI 90-90-90
Apa Itu 90-90-90?
Tahun 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat deklarasi dengan salah satu janji yang harus dipenuhi pada tahun 2020 adalah mencapai target 90-90-90.
Target ini adalah 90 persen orang dengan HIV/AIDS (Odha) mengetahui status HIV-nya, 90 persen Odha mendapatkan pengobatan Antiretroviral (ARV), dan 90 persen Odha yang mendapat pengobatan itu jumlah virus HIV dalam tubuhnya dapat ditekan.
Deklarasi itu dibuat dengan target global mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada 2030.
Berapa Kasus Global dan di Indonesia Tahun 2022?
Pada tahun 2019, WHO mencatat sekitar 37,9 juta orang di dunia hidup dengan HIV. Angka tersebut telah meningkat dalam empat tahun (2019- 2021-akhir) menjadi 28.4 juta kasus.
Di Indonesia pada tahun 2019, Kemenkes melaporkan 57.318 kasus dan dalam empat tahun (2019-2022) meningkat menjadi 519.158 kasus. Di Papua, pada tahun 2019, Dinas kesehatan Provinsi Papua melaporkan 40.805 kasus dan meningkat menjadi menjadi 49.011 kasus per Juni 2022.
Berapa Kasus di Papua dan Nabire 2022?
Secara nasional, Provinsi Papua menduduki urutan kelima setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah pada tahun 2022. Tetapi, perlu diketahui bahwa “Case Rate” tertinggi secara nasional adalah provinsi Papua, yakni sebesar 653,82, melebihi angka nasional.
Case rate HIV/AIDS adalah kasus HIV/AIDS yang hidup tahun 2022 dibagi dengan jumlah penduduk tahun 2022, kemudian dikalikan konstanta 100.000.
Artinya jika dilihat dari jumlah penduduk di Papua yang hanya kurang lima juta dibandingkan dengan empat provinsi lainnya yang mencapai puluhan juta penduduk, maka kondisi HIV/AIDS di Provinsi Papua tertinggi dan sudah berada pada keadaan mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Papua tahun 2022, Kabupaten Nabire menduduki urutan pertama, yakni 9.037 kasus. Telah bertambah 1.746 kasus selama empat tahun (2018 tercatat 7.291 kasus). Lihat tabel di bawah ini.
Mengapa Kasus HIV/AIDS di Nabire Tertinggi di Papua?
Berdasarkan sejumlah refrensi, kasus HIV/AIDS di Nabire tertinggi di Provinsi Papua karena kabupaten Nabire menjadi kabupaten rujukan dari beberapa kabupaten lain di wilayah Meepago.
Disamping itu, petugas kesehatan dan pelayanan kesehatan yang ada di Nabire, semakin giat untuk melakukan deteksi pemeriksaan HIV/AIDS sehingga semakin banyak kasus HIV/AIDS yang ditemukan.
Selain itu juga kondisi ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat berkenaan dengan HIV masih rendah dan adanya pergaulan yang tidak sehat.
Kolaborasi Jawaban?
Berdasarkan data di atas, secara global, nasional, Papua dan Nabire belum mencapai target 90-90-90 pada tahun 2020 dan diperkirakan gagal mencapai target global mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada 2030.
Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah gerakan kolaborasi. Kolabora-si adalah proses bekerja sama untuk menelurkan/mengeluarkan gagasan atau ide dan menyelesaikan masalah secara bersama-sama menuju visi bersama, target 90-90-90 lima tahun mendatang.
Siapa yang Berkolaborasi?
HIV/AIDS bukan hanya isu kesehatan, melainkan juga isu pembangunan. Jadi, semua sektor dan semua pihak di Kabupaten Nabire memiliki peranan penting untuk mencapai target 90-90-90 dalam lima tahun ke depan.
Pemerintah daerah misalnya Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Komunikasi dan Informatika, Bagian Humas, Bagian Hukum, Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten.
Keterlibatan masyarakat diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Adat, organisasi-organisasi kepemudaan, Kepala Suku, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan, Tokoh Agama dan keterwakilan masyarakat lainnya. Keterlibatan kepolisian berkenaan dengan Narkoba.
Apa yang Dikerjakan?
Ada dua hal utama yang dikerjakan oleh pihak-pihak yang berkolaborasi di atas.
Pertama, perumusan rencana aksi dipimpin Bappeda. Rencana aksi ini memuat peran dan tugas serta target dan system evaluasi dari masing-masing pihak yang berkolaborasi, termasuk payung hukum disiapkan. Perencanaan ini termasuk anggarannya. Anggaran untuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berkolaborasi dapat dimasukan dalam DPA dan bagi wakil masyarakat dan kepolisian dapat direncanakan dalam bentuk hibah.
Kedua, implementasi. Masing-masing pihak melaksanakan peran dan tugasnya sesuai dengan perencanaan yang telah dilakukan. Proses implementasi ini dilakan evaluasi pertahun atau persementer.
Targetnya adalah dalam lima tahun 90 persen orang dengan HIV/AIDS (Odha) mengetahui status HIV-nya, 90 persen Odha mendapatkan pengobatan ARV, dan 90 persen Odha yang mendapat pengobatan itu jumlah virus HIV dalam tubuhnya dapat ditekan.
HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis B adalah Sindemi
Epidemi HIV di Nabire terus meningkat dan penyakit lain seperti Tuberkulosis (TBC) dan Hepatitis B masih ada. Kebanyakan pasien dengan HIV sulit bertahan hidup dengan ARV dan meninggal karena selain lambat minum ARV juga karena tidak patuh pada ARV dan dua atau lebih penyakit berinteraksi sehingga dapat menyebabkan efek merusak yang lebih besar. Keadaan ini oleh sejumlah pakar disebut dengan sindemi.
Berdasarkan sejumlah data yang dikumpulkan oleh Tim media ini menunjukkan bahwa banyak pasien HIV di Nabire meninggal atau sebagian lainnya tidak hidup sehat walaupun minum obat ARV karena HIV, TBC dan Hepatitis berinteraksi.
Oleh karena itu, aksi kolaborasi 90-90-90 untuk HIV harus juga sejalan dengan penanganan TBC dan Hepatitis. Mengapa demikian?
Tuberkulosis (TBC) Hepatitis B masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Pada saat bersamaan, epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TBC dan Hepatitis yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TBC di masyarakat. Ketiga masalah kesehatan ini merupakan tantangan terbesar saat ini.
TBC dan Hepatitis B tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TBC dan Hepatitis B merupakan salah satu infeksi oportunistik yang banyak terjadi dan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV/AIDS.
Intinya, banyak orang dengan HIV saat ini lebih menghadapi tantangan akibat TBC dan virus hepatitis daripada infeksi oportunistik terkait AIDS dan juga menjadi ancaman untuk kesehatan dan kehidupannya.
Karena itu, kolaborasi kegiatan untuk ketiga penyakit ini merupakan satu keharusan agar dapat teratasi atau paling tidak ditekan secara efektif dan efiisien di Kabupaten Nabire.
(2) BERPENGETAHUAN HIV/AIDS
Apa Itu HIV/AIDS?
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
CD4 adalah salah satu jenis sel darah putih yang berperan penting dalam sistem imun. Sel ini disebut dengan “CD4” karena memiliki penanda pada permukaannya yang disebut klaster diferensiasi (CD), yang berguna untuk mengidentifikasi dan menghancurkan patogen atau kuman penyebab infeksi, termasuk bakteri, jamur, dan virus. Selain itu, CD4 juga akan memberi sinyal pada sel-sel imun lain terkait adanya bahaya dari kuman yang masuk ke tubuh.
Jadi, sel CD4 ini semacam pasukan tentara dalam darah manusia yang menjaga dan menghancurkan bakteri, jamur, dan virus yang masuk ke tubuh. HIV adalah virus yang menghancurkan para tentara ini (sel CD4). Sistem imun yang sehat biasanya memiliki jumlah CD4 mulai dari 500 hingga 1.600 sel per milimeter kubik darah (sel / mm3).
Nah, kalau HIV dalam tubuh tidak segera diketahui dan diatasi, maka akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari infeksi HIV. Jika kita mempunyai jumlah CD4 di bawah 200, atau persentase CD4 di bawah 14%, kita dianggap AIDS, berdasarkan definisi Kemenkes. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang sepenuhnya. Jumlah CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah jumlahnya, semakin besar kerusakan yang diakibatkan HIV (https://spiritia.or.id).
HIV Menular Lewat Apa?
Hubungan Seks Tanpa Alat Pengaman (Kondom); Berbagi Alat Suntik dengan Orang yang positif Mengidap HIV; Ibu Hamil Positif HIV Kepada Bayinya Selama Masa Kehamilan, Persalinan; Melalui Transfusi darah; Melakukan Seks Oral; Terkena atau Tertukarnya Cairan Vagina atau Sperma; ASI (Air Susu Ibu) Kepada Bayi.
HIV tidak terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, atau air. (WHO, 2019).
Apa Gejala HIV?
Gejala HIV dan AIDS tergantung pada tahap mana orang tersebut terinfeksi.
Tahap pertama: Tidak menimbulkan gejala apapun selama beberapa tahun, pengidap akan mengalami nyeri mirip, seperti flu, beberapa minggu setelah terinfeksi, selama satu hingga dua bulan, timbul demam, nyeri tenggorokan, ruam, pembengkakan kelenjar getah bening, diare, kelelahan, nyeri otot, dan sendi.
Tahap kedua: Umumnya, tidak menimbulkan gejala lebih lanjut selama bertahun-tahun, virus terus menyebar dan merusak sistem kekebalan tubuh, penularan infeksi sudah bisa dilakukan pengidap kepada orang lain, dan berlangsung hingga 10 tahun atau lebih.
Tahap ketiga: Daya tahan pengidap rentan, sehingga mudah sakit, dan akan berlanjut menjadi AIDS, demam terus-menerus lebih dari sepuluh hari, merasa lelah setiap saat, sulit bernapas, diare yang berat dan dalam jangka waktu yang lama, terjadi infeksi jamur pada tenggorokan, mulut, dan vagina, timbul bintik ungu pada kulit yang tidak akan hilang, dan hilang nafsu makan, sehingga berat badan turun drastis.
Jangan Takut Tes HIV!
Jika kita merasa memiliki risiko terinfeksi virus HIV, satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan tes HIV yang disertai konseling. Segeralah mengunjungi rumah sakit atau Puskesmas terdekat untuk tes HIV. Dengan tes ini akan diketahui hasil diagnosis HIV pada tubuh kita.
Layanan tes HIV dan konseling ini disebut sebagai VCT (Voluntary Counseling and Testing) atau KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela). Tes ini bersifat sukarela dan rahasia. Sebelum melakukan tes, konseling diberikan terlebih dahulu. Konseling bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko infeksi dan juga pola hidup keseharian. Setelah tahap ini, dibahaslah cara menghadapi hasil tes HIV jika terbukti positif.
Tes HIV biasanya berupa tes darah untuk memastikan adanya antibodi terhadap HIV di dalam sampel darah. Antibodi adalah protein yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh untuk menyerang kuman atau bakteri tertentu. Tes HIV mungkin akan diulang satu hingga tiga bulan setelah seseorang melakukan aktivitas yang dicurigai bisa membuatnya tertular virus HIV.
Jika Positif Patuh pada ARV!
HIV dapat ditangani jika menjalani perawatan dengan baik. Mulai dari terapi ART hingga mengonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter dapat membantu membuat tubuh penderitanya lebih sehat, tetapi perlu dilakukan seumur hidup.
Pengobatan dengan obat ARV dianjurkan untuk semua orang dengan HIV/AIDS, terlepas dari seberapa lama terinfeksi atau seberapa sehatnya kondisinya.
Pada orang yang terinfeksi HIV, sistem kekebalan tubuh akan melemah sehingga sulit melindungi dari berbagai penyakit infeksi. Bagi kebanyakan orang, minum obat ARV sangat efektif untuk mengendalikan gejala HIV.
Obat ini diharapkan dapat mengendalikan infeksi virus sehingga pasien ODHA bisa hidup sehat sekaligus mengurangi risiko penularan kepada orang lain.
Obat ARV bekerja dengan cara mengurangi jumlah viral load HIV sampai ke kadar yang sangat rendah, bahkan mungkin virus tidak lagi terdeteksi dalam tes viral load untuk HIV.
Dengan begitu, infeksi virus HIV tidak dapat menyebabkan gangguan pada sistem imun. Viral load HIV adalah perbandingan jumlah partikel virus HIV per 1 mililiter dalam darah.
Selain itu, menurut laman informasi HIV.gov, pengidap HIV/AIDS yang rutin minum obat ARV memiliki risiko sangat rendah untuk menularkan virus HIV secara seksual pada pasangannya yang HIV-negatif.
Jadi, jika Minum ARV, apakah HIV bisa sembuh dengan sendirinya? Perawatan dan pengobatan yang dijalani oleh para pasien HIV memang tidak bertujuan untuk ‘menyembuhkan’ tubuh mereka dari virus tersebut. Namun, metode ini dilakukan agar tubuh penderita tetap fit menjalani aktivitas sehari-hari. Sampai saat ini memang belum ada obat dan terapi yang membuat penderita HIV sembuh total.
Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan HIV bisa sembuh dengan sendirinya belum dapat dipastikan karena para peneliti pun masih dalam tahap mengembangkan obatnya. Mengapa demikian? HIV memiliki kemampuan untuk ‘menyembunyikan diri’ di dalam sel tubuh yang obat pun tidak dapat mencapainya, alias tidak dapat terdeteksi.
Kasus Khusus: Dua Pasien Diklaim Sembuh?
Walaupun HIV tidak ada obat yang benar-benar menyembuhkan, ada beberapa kasus tertentu yang menunjukkan bahwa pasien yang terinfeksi bisa sembuh. Akan tetapi, tentu kasusnya tidak banyak dan termasuk sedikit dibandingkan jumlah pasien yang saat ini masih menderita HIV.
Dilansir dari Avert, situs web tentang informasi dan edukasi perihal HIV dan AIDS, ada beberapa berita tentang pasien yang terinfeksi HIV bisa sembuh dari virus tersebut. Perlu diingat bahwa kasus-kasus HIV di bawah ini tidak sembuh dengan sendirinya melainkan terjadi setelah menjalani pengobatan sel induk.
Pertama, Adam Castillejo (40), seorang pria dari London telah diklaim oleh pihak medis bahwa ia sembuh dari penyakit HIV. Bahkan, dalam laporan jurnal ‘The Lancet HIV’, Castillejo dinyatakan bebas dari HIV selama lebih dari 30 bulan sejak menghentikan terapi antiretroviral. Kini, ia diklaim tidak memiliki infeksi HIV aktif yang terdeteksi dalam darah, air mani, atau jaringan tubuhnya.
BBC melaporkan bahwa kesembuhan Castillejo ini diketahui bukanlah disebabkan oleh obat-obatan HIV, tetapi dengan pengobatan sel induk yang ia jalani untuk penyakit kankernya.
Kedua, pasien HIV bernama Timothy Brown yang menderita leukimia stadium akhir, tetapi ia menjalani dua kali transplantasi dan terapi radiasi total. Berbeda dengan Brown, pasien London di atas tadi hanya perlu melalui satu transplantasi dengan kemoterapi ringan. Sampai saat ini Brown sudah tidak lagi menjalani pengobatan ARV lebih dari delapan tahun. Maka itu, para dokter bisa menyatakan bahwa ia sudah sembuh dari HIV.
Walaupun demikian, tim dokter yang sama dengan pengobatan pasien London menyatakan bahwa metode ini mungkin berdampak berbeda pada pasien lainnya. Mereka masih perlu memastikan apakah transplantasi sumsum tulang dapat digunakan oleh sebagian besar pasien dan apa saja efek sampingnya.
Ketiga, pada konferensi CROI (Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections) pada 2013 telah diumumkan bahwa seorang bayi bisa sembuh secara fungsional dari HIV. Bayi asal Mississippi ini diberikan sebanyak tiga obat antiretroviral dalam dosis yang kuat sesaat setelah ia lahir.
Namun, pengobatan ini akhirnya terpaksa berhenti pada usia 18 bulan ketika sang ibu tidak menjalani perawatan. Pada saat mereka kembali dirawat lima bulan kemudian, virus DNA pada bayi tidak lagi terdeteksi, alias hilang berdasarkan hasil tes. Setelah satu tahun berlalu, ia kembali diperiksa dan sayangnya ditemukan lagi DNA virus HIV dalam tubuh bayi. Dari sini para dokter berpendapat bahwa kata ‘sembuh’ dari HIV sangat sulit digunakan mengingat dapat kembali kambuh sewaktu-waktu.
Kasus bayi Mississippi menjadi pelajaran bahwa ARV sejak dini pada bayi dapat menghasilkan remisi jangka pendek. Setidaknya, ARV dapat mengendalikan replikasi virus dan membatasi jumlah reservoir virus. Sistem kekebalan tubuh pasien memang dapat terinfeksi, tetapi jumlah virus yang tidak begitu banyak tidak menghasilkan kerusakan yang cukup parah.
Jadi, HIV memang tidak bisa sembuh dengan sendirinya dan obat-obatan untuk menghilangkan virus sepenuhnya pun masih dicari.
Hanya dengan menjalani pengobatan ARV dapat membuat pasien tetap sehat dan menjaga tubuh mereka dari kerusakan lebih lanjut.
Jika Negatif, Cukup Lakukan ini dan Jangan Diskriminasi!
Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” berikut:
A -> Abstinence: artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah.B -> Be faithful: artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan).C -> Condom: artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom.D-> Drug No: artinya Dilarang menggunakan narkoba.E -> Education: artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.
Nah, Menurut psikolog Ikhsan Bella Persada, M.Psi., kita sebaiknya tetap memberikan support pada teman yang terkena HIV/AIDS. Jangan jauhi dia, jangan diskriminasi. Selain itu, sebisa mungkin kita menjadi teman bercerita para orang dengan HIV aktif.
Kita juga juga bisa mengajak dan mendampingi ODHA untuk ikut dalam komunitas ODHA agar tidak merasa sendiri dalam menghadapi kondisinya.
“Dilarang juga untuk mengucilkan dan menghakimi atas tindakan yang pernah dia lakukan dulu. Sangat penting bagi kita memiliki wawasan tentang HIV/AIDS agar kita juga tidak sembarangan memberikan stigma kalau ODHA itu mudah menularkan virusnya ke kita,” tutur Ikhsan.
Support dari keluarga, sahabat, dan teman akan menyemangati penderita HIV/AIDS untuk menjalani pengobatan jangka panjang.
(3) KOMITMEN BUPATI MESAK KOLABORASI MENEKAN HIV/AIDS
Bupati Nabire, Mesak Magai, S.Sos., M.Si mengatakan, pihaknya telah mendapatkan laporan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Nabire secara kumulatif hingga akhir bulan Juni tahun 2022 mencapai 9.037 kasus.
“Saya sudah mendapatkan laporan resmi bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Nabire tembus 9.037 kasus. Dari seluruh kabupaten di provinsi Papua, Nabire berada di urutan pertama. Kasus kematian akibat HIV/AIDS di Nabire hingga akhir Juni 2022 sebanyak 469 kasus. Ini naik naik 3 kasus dibandingkan bulan September 2021 lalu,” kata Bupati.
Bupati menjelaskan, “Ini sangat mengkhawatirkan kita semua. Ini baru HIV/AIDS, belum lagi kasus TBC dan lainnya. Kondisi inilah yang mendasari saya untuk menjadikan salah satu program prioritas dalam visi dan misi kami, yakni pembenahan bidang kesehatan, termasuk menekan kenaikan kasus HIV/AIDS dan kasus TBC,” kata Bupati Mesak.
Berkenaan dengan kondisi ini, Bupati mengatakan, memerlukan kolaborasi semua pihak. “Kita segera bergerak lakukan kolaborasi antara Dinas Kesehatan, KPA, dan LSM di Nabire serta semua pihak untuk menekan angka ini,” kata Bupati.
“Selama ini, Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Nabire belum aktif untuk menjadi mitra terhadap LSM atau Dinas Kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan penanggulangan HIV. Apalagi belum diketahui pasti pemetaan databasenya di Nabire seperti apa dari beberapa Kabupaten tetangga. Ini karena tidak ada dana hibah yang disediakan selama ini sehingga kami berupaya perkuat KPA dengan menyediakan dana hibah dan personil agar dapat kolaborasi LSM atau Dinas Kesehatan,” kata Bupati.
“Mulai tahun 2023 ini, saya akan aktifkan KPA Nabire agar kolaborasi dengan petugas kesehatan dan pelayanan kesehatan yang saat ini semakin giat untuk melakukan deteksi pemeriksaan HIV/AIDS sehingga semakin banyak kasus HIV/AIDS yang ditemukan dan diatasi sedini mungkin serta menekan penyebaran,” kata Bupati Mesak.
“Saya apresiasi untuk Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Polres Nabire dan Lapas Nabire yang sudah melakukan Tes HIV/AIDS di masing-masing lembaga,” kata Bupati Mesak.
Diketahui, sebanyak 175 orang Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Kelas IIB Nabire menjalani Tes HIV/AIDS, hasil kerjasama dengan Dinas Kesehatan Nabire. Sementara itu, Polres Nabire juga melakukan kegiatan mobile VCT (Voluntary Counseling and Testing) HIV dan Skrining TBC kepada 82 personil Polres Nabire dan Bhayangkari Cabang Nabire di Mapolres Nabire atas kerja sama dengan Dinas Kesehatan.
Bupati Mesak juga mengapresiasi komitmen Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Nabire untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Kabupaten Nabire, termasuk menekan angka HIV dan TBC di Nabire.
Bupati Mesak mengatakan hal itu menyusul, pernyataan mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Nabire periode 2017-2022, dr Frans Sayori yang mengungkapkan bahwa IDI Nabire berkomitmen meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya di Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes) seperti Puskesmas hingga Rumah Sakit.
“Saya apresiasi IDI karena mereka menerjemahkan program dan visi misi Pemerintah Daerah Nabire dalam rangka meningkatkan layanan kesehatan bagi warga masyarakat. Saya yakin juga bahwa IDI Nabire akan menjadi mitra bagi pemerintah dengan memberikan masukan-masukan terkait dengan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah daerah,” kata Bupati Mesak.
Bupati juga mengakui bahwa sumber daya manusia, tenaga medis dan para medis, khususnya tenaga dokter masih sangat kurang dan masih terpusat di dalam kota. Saat ini sejumlah dokter masih bekerja di instansi pemerintah seperti di Rumah Sakit, Puskesmas, dan di klinik-klinik swasta.
“Kita masih kekurangan tenaga dokter dan fasilitas. Ini tugas pemerintah daerah dan karena itu kami sedang benahi sesuai dengan kemampuan keuangan daerah karena kami ini masih bayar utang di bank Papua. Tetapi, bidang layanan dasar seperti kesehatan adalah prioritas saya saat ini dan ke depan,” jelas Bupati Mesak. [Tim Dinkominfo Nabire/Sumber pada Redaksi]
14,506 orang membaca tulisan ini